Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengabulkan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusan ini diumumkan pada Kamis, 2 Januari 2025, di Gedung MK, Jakarta. Dengan dihapusnya ketentuan ambang batas 20 persen, setiap partai politik kini memiliki peluang mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa syarat persentase kursi di DPR atau suara sah nasional. Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan, Pasal 222 UU Nomor 7/2017 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Direktur Eksekutif Nalar Bangsa Institute, Farhan A Dalimunthe menilai penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan bentuk kemajuan hukum yang dialami Indonesia pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. “Dengan ada keputusan Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas calon presiden dari 20 persen menjadi nol persen, kita nilai ini adalah langkah progresif lembaga hukum negara di era kepemimpinan pak Prabowo dan mas Gibran,” kata Farhan dalam siaran persnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menandai akhir dari polemik panjang terkait ambang batas pencalonan presiden. Gugatan terhadap Pasal 222 UU Pemilu telah diajukan berkali-kali sejak 2018, namun baru kali ini dikabulkan. Gugatan tersebut termasuk dari sejumlah akademisi, aktivis, politisi, serta anggota masyarakat yang berpendapat bahwa aturan tersebut membatasi hak partai politik untuk mengajukan capres-cawapres. Meskipun terdapat kekhawatiran bahwa penghapusan ambang batas ini dapat memunculkan fragmentasi politik dan meningkatkan risiko pilpres dua putaran, namun keputusan ini disambut baik oleh banyak kalangan yang selama ini mengkritik presidential threshold sebagai penghalang demokrasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi membuka babak baru dalam sistem demokrasi Indonesia, di mana pada Pilpres 2029, setiap partai politik memiliki hak yang sama untuk mengusung pasangan capres-cawapres, tanpa dibatasi oleh persentase kursi di DPR atau suara sah nasional pada pemilu sebelumnya. Yance Arizona, salah satu pihak yang memberikan keterangan dalam sidang, menyatakan bahwa keputusan ini adalah kemenangan bagi demokrasi. Meskipun terdapat pandangan yang berbeda, namun putusan ini dianggap sebagai langkah maju dalam menguatkan sistem demokrasi yang lebih inklusif dan demokratis.