TEMPO.CO, Jakarta – Mantan Gubernur Kepulauan Riau Sisa Masa Jabatan 2016-2021 Isdianto, mengajukan gugatan terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada disingkat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Isdianto menilai pasal tersebut mengandung norma ketidakpastian hukum.
Dikutip dari laman resmi MK RI, Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 itu dilayangkan Isdianto pada 11 Juni 2024, dan teregistrasi dengan nomor 70/PUU/PAN.MK/AP3/06/2024.
Dalam dokumen gugatan tersebut Isdianto menyampaikan sejumlah dalil, salah satunya Isdianto menilai ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada mengandung norma ketidakpastian hukum dengan adanya frasa “belum pernah menjabat” pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o a quo.
Adapun Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada menyatakan:
Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(o) belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota.
Menurutnya, merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009, maka fakta hukumnya ia hanya menjabat sebagai PLT Gubernur Kepulauan Riau sampai menjadi Gubernur Definitif Sisa Masa Jabatan 2016-2021 hanya satu tahun tujuh bulan atau 19 bulan, sehingga tidak masuk hitungan “satu periode masa jabatan”.
Sehingga dalam dokumen gugatan tersebut kata dia, Mahkamah Konstitusi perlu menafsirkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada, yaitu frasa “o. belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama”, dengan tafsir:
“o. belum pernah menjabat satu periode masa jabatan sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama,” tulisnya dalam dokumen gugatan tersebut.
Maka, putusan bertafsir atas ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada perlu diberikan oleh Mahkamah Konstitusi agar tidak menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon.
Petitum:
Mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan karena itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya
Atau, apabila Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.
Selain itu, gugatan juga datang dari mahasiswa Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Fahrur Rozi, dan mahasiswa Podomoro University, Anthony Lee, menggugat pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang 10 tahun 2016 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta MK mengubah pasal tersebut agar ada batasan waktu yang jelas soal perhitungan batas usia calon kepala daerah.
Pilihan editor: Partai Buruh dan Gelora Gugat UU Pilkada ke MK