TEMPO.CO, Jakarta – Kisruh Pemilu 2024 masih menjadi topik yang terus diperbincangkan. Usulan hak angket DPR untuk mengusut dugaan kecurangan dalam pemilu dianggap tidak tepat. Pasalnya, kewenangan untuk mengadili sengketa hasil pemilu merupakan tugas Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 24 C ayat (1) dan (2). Pasal 24 C ayat (1) menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Sementara Pasal 24 C ayat (2) menyatakan bahwa MK wajib memberikan putusan atas dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar.
Penyelesaian sengketa hasil pemilu oleh MK melalui beberapa tahapan, mulai dari pengajuan permohonan hingga putusan.
1. Proses Pengajuan
Syarat permohonan sengketa hasil pemilu diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pemohon dapat berupa warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, serta partai politik peserta pemilihan umum.
2. Permohonan Diproses
Dalam permohonan harus dijelaskan dengan jelas kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan tersebut. MK akan melanjutkan permohonan yang telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
3. Hasil Putusan
Hasil dari permohonan sengketa pemilu akan diputuskan oleh MK sesuai dengan Pasal 77 UU MK. MK memiliki batasan waktu untuk membuat putusan terkait sengketa hasil pemilu, yaitu paling lambat 14 hari kerja untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta 30 hari kerja untuk pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Hasil putusan MK mengenai sengketa hasil pemilu akan disampaikan kepada Presiden.