TEMPO.CO, Jakarta – Debat capres cawapres Pemilu 2024 yang diadakan lima kali sebelum pemilihan diperkirakan akan mempengaruhi masyarakat yang masih belum memutuskan pilihannya atau undecided voters yang jumlahnya sangat tinggi menurut Litbang Kompas.
“Besar atau kecil, debat akan berpengaruh terhadap persepsi pemilih yang 28,7 persen itu,” kata Pakar Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin saat dihubungi, Selasa pagi, 12 Desember 2023.
Litbang Kompas baru saja merilis hasil survei tentang elektabilitas tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pasangan Prabowo-Gibran mendapat tempat pertama dengan elektabilitas 39,3 persen. Pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar 16,7 persen dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD di urutan buncit dengan elektabilitas 15,3 persen. Sementara itu, pemilih yang masih bimbang atau belum menentukan pilihannya (undecided voters) mencapai 28,7 persen.
Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan berpendapat bahwa debat kandidat capres cawapres bisa memengaruhi pertimbangan undecided voters pada pilihan dan saat pemungutan suara.
“Lazimnya undecided voters lebih rasional dan terdidik memutuskan menjelang akhir pemungutan suara,” kata Djayadi, dikutip dari Koran Tempo edisi 13 Desember 2023.
Debat perdana pada 12 Desember 2023, dianggap sebagai permulaan dari lima debat yang diadakan Komisi Pemilihan Umum (KPU). “Debat pertama masih pemanasan karena yang dibahas juga masih isu umum seperti Hak asasi manusia, hukum, dan demokrasi,” tambah Djayadi.
Djayadi mengklaim debat akan menentukan swing voters atau pemilih mengambang. Kelompok itu mencapai 20 persen dan tersebar di semua kandidat.
Sementara itu, peneliti dari Populi Center, Usep S. Ahyar memperkirakan debat terakhir akan menjadi debat krusial dalam mempengaruhi swing voters dan undecided voters. Hasil survei menunjukkan bahwa undecided voters mencapai 21,2 persen pada 28 November sampai 5 Desember 2023. Dari jumlah tersebut, setidaknya ada 3-7 persen pemilih yang menunggu akhir debat untuk memutuskan pilihannya.
Fenomena swing voters memang kerap muncul dalam setiap pemilu. Dilansir dari aptika.kominfo, angka swing voters mengalami kenaikan. Dimulai dari 7,3 persen pada Pemilu 1999, 15,9 persen pada Pemilu 2004, 28,3 persen pada Pemilu 2009, dan 29,1 persen pada Pemilu 2014.
Menurut Dirjen Aptika Semuel Abrijani Pangerapan, swing voters didominasi pemilih generasi muda atau milenial yang banyak mengakses internet. “Generasi milenial harus pintar dan bijak dalam menanggapi suatu informasi yang beredar di internet. Era Digital dapat mempermudah pencarian informasi untuk referensi para swing voters, tetapi terlalu bisingnya dunia maya oleh konten negatif dapat membuat para swing voters jengah dan pada akhirnya golput,” jelasnya.
Sementara itu, angka golongan putih atau tidak memilih pada Pemilu 2019 berjumlah 34,75 juta atau sekitar 18,02 persen. Hal itu lebih sedikit dibandingkan Pemilu 2014 yang mencapai 58,61 juta orang atau 30,22 persen.
ANANDA BINTANG I ADIL AL HASAN I IMAM HADI
Pilihan Editor: Catatan Bambang Widjojanto untuk Debat Capres cawapres Isu Pemberantasan Korupsi