Tanah seluas dua hektare di Desa Ujung Bandar, Rantau Selatan, Labuhanbatu, bukan sekadar aset bagi keluarga Ramali Siregar. Lahan warisan tersebut diduga “disulap” menjadi milik empat perusahaan dan lima pihak individu lengkap dengan sertifikat terbitan 1995. Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat Nomor 129/Pdt.G/2024/PN RAP yang memenangkan para tergugat pada Juni lalu memantik kecurigaan publik akan gurita mafia tanah dan mafia peradilan di daerah.
Ibu Jurtini Siregar (66) datang ke DKI Jakarta bersama Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (KCBI) untuk mengungkap kasus perampasan tanah dan dugaan rekayasa bukti di lahan warisan keluarganya. LSM KCBI menilai vonis PN Rantau Prapat sebagai penyimpangan logika hukum karena mengabaikan bukti-bukti otentik seperti segel asli tanah keluaran 1982, surat keterangan waris, dan kesaksian saksi fakta.
Terlepas dari kecurigaan tersebut, langkah-langkah lanjut sudah diambil, termasuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan, melaporkan dugaan gratifikasi dan pelanggaran etik hakim PN Rantau Prapat ke KPK dan Komisi Yudisial, serta meminta perlindungan saksi atas intimidasi yang diterima. Seruan juga dilancarkan kepada negara, termasuk Kementerian ATR/BPN untuk melakukan audit menyeluruh terkait penerbitan sertifikat tahun 1995, Mahkamah Agung untuk mengawasi perkara agraria bernuansa kolusi, serta Kapolri dan Kejaksaan Agung untuk membentuk satgas anti-mafia tanah di Labuhanbatu dan wilayah rawan lainnya.
Dalam upaya menegakkan keadilan, Ibu Jurtini dan LSM KCBI mendesak negara untuk melindungi hak-hak rakyat, terutama korban perampasan tanah di Indonesia. Keadilan yang tertunda berarti mengabaikan keadilan itu sendiri.