Meningkatnya Fenomena Calon Tunggal dari Satu Pilkada ke Pilkada Lain, Ini Dampaknya

by -127 Views

TEMPO.CO, Jakarta – Fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada 2024 semakin marak. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat, jika kesepakatan politik yang sudah diumumkan tidak berubah, tahun ini ada 34 pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon.

Di Jakarta, gerakan mewujudkan calon tunggal juga mengemuka setelah partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus mengusung Ridwan Kamil-Suswono.

Hal ini membuat peluang kandidat calon lainnya, yakni Anies Baswedan, untuk maju di Pilkada Jakarta semakin kecil karena belum cukup mengantongi dukungan partai politik. Pun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan satu-satunya partai politik yang tidak tergabung dalam KIM Plus tidak bisa mengusung sendiri calon gubernurnya karena tidak memenuhi ambang batas threshold 20 persen.

Mengutip Koran Tempo edisi Selasa, 6 Agustus 2024, pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan kehadiran calon tunggal meningkat sejak pilkada 2015. Peningkatan itu terjadi karena partai sejak awal ingin menjamin kemenangannya.

Pada 2015, ada 3 dari 269 daerah dengan calon tunggal. Potensi kemenangan mereka hampir 100 persen. Lalu terdapat 9 dari 101 daerah dengan calon tunggal dalam pilkada serentak 2017. Dalam pilkada 2018, ada 16 dari 170 daerah dengan calon tunggal. Dari jumlah itu, hanya satu daerah di Kota Makassar yang calon tunggalnya kalah oleh kotak kosong. Sedangkan dalam pilkada 2020, ada 25 calon tunggal dari total 270 daerah. Mereka meraih kemenangan mencapai 100 persen.

“Dari 2015 sampai 2020, hanya ada 1 calon tunggal yang kalah. Sebanyak 52 calon tunggal lain menang. Jadi luar biasa kemenangannya,” kata Titi dalam suatu webinar, Ahad, 4 Agustus 2024.

Pakar Sebut Wacana Calon Tunggal Ancam Demokrasi

Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Caroline Paskarina menyebut bermunculannya wacana calon tunggal dalam kontestasi pilkada dapat mengancam demokrasi.

“Ini tidak bagus untuk demokrasi karena mengindikasikan lemahnya kinerja parpol untuk kandidasi, minimnya kontestasi gagasan, dan dominasi elit politik. Fenomena kotak kosong itu sebenarnya bentuk ketidakpercayaan publik,” kata Caroline kepada Tempo pada Rabu, 7 Agustus 2024.

Menurut Caroline, biang keladi utama dari fenomena tersebut adalah sistem politik yang kurang berfungsi. Dalam demokrasi, kata Caroline, transisi kekuasaan dilakukan melalui mekanisme elektoral yang melibatkan partai politik sebagai instrumen utama yg berfungsi melakukan rekrutmen dan seleksi kepemimpinan, termasuk kandidasi dalam pilkada. Selain itu, regulasi threshold yang tinggi juga disebut Caroline memiliki pengaruh.

“Iya, regulasi juga ada pengaruhnya. Apalagi dengan pola koalisi yg tidak permanen seperti yang terjadi di Indonesia di mana pengajuan pasangan calon di daerah bisa dilakukan oleh komposisi parpol berbeda dengan yang berkoalisi di tingkat nasional.” papar Caroline.

Kini dengan lahirnya putusan MK terbaru, maka bisa menjadi tonggak bersejarah. Potensi calon tunggal, yang otomatis memunculkan kotak kosong bisa dicegah karena syarat ambang batas pencalonan dimulai pada Pilkada 2024 diturunkan signifikan.

Pilihan editor: Menelisik Apa Itu Kotak Kosong dalam Gelaran Pilkada