Ketua Program Studi HI UKI, Arthuur Jeverson Maya, menyatakan bahwa regulasi terkait spionase perlu diatur dengan sangat detail oleh negara. Aturan yang tegas akan mencegah dampak yang tidak diinginkan di masa depan. Menurutnya, penting untuk memiliki regulasi yang jelas dan tegas dalam mengatur kegiatan spionase agar tidak menimbulkan masalah etika dan hukum.
Arthuur juga menyoroti kontradiksi dalam hubungan negara dengan spionase, serta pentingnya kemajuan teknologi dalam akses informasi. Dia mengakui bahwa spionase merupakan bentuk perang terselubung yang melibatkan kegiatan pengawasan dan pengumpulan informasi secara diam-diam. Arthuur juga menekankan perlunya negara terus memperbarui dan meningkatkan teknologi mereka untuk memastikan informasi dapat diperoleh dan digunakan secara efektif.
Anggota Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanuddin, berbicara tentang pengalaman dan pandangannya mengenai intelijen. Dia mengulas evolusi intelijen dari masa lalu hingga sekarang, serta pentingnya teknologi dalam kegiatan intelijen. Hasanuddin menyatakan bahwa UU No. 17 Tahun 2017 disusun untuk mengatur praktik intelijen, meskipun masih ada banyak kekurangan dalam hal penyadapan.
Seminar yang diselenggarakan bertujuan untuk membahas isu spyware dan pentingnya regulasi yang seimbang antara keamanan nasional dan hak-hak sipil. Diharapkan seminar ini dapat memberikan kontribusi dalam perumusan kebijakan yang lebih baik di masa depan. Dengan adanya diskusi yang mendalam dan pandangan yang beragam dari para ahli dan praktisi, diharapkan Indonesia dapat menghadapi tantangan keamanan yang semakin kompleks di era digital dengan lebih siap dan responsif.
Dalam diskusi tersebut, turut hadir Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UKI, Verdinand Robertua; Direktur CESFAS, Darynaufal Mulyaman; Hoga Saragih dari Universitas Bakrie; Direktur Riset ISI, Aishah Rasyidilla Kusumasomantri; dan Guru Besar Keamanan Internasional UKI, Angel Damayanti.