Puskapol UI Mengkritik Format Debat: Panelis Mengambil Lebih Banyak Waktu Daripada Capres untuk Menyampaikan Gagasan

by -175 Views

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Hurriyah, memberikan sejumlah catatan dalam debat calon presiden dan wakil presiden atau capres-cawapres di Pemilu 2024. Termasuk mengkritik fungsi panelis debat.

“Waktu yang dihabiskan panelis untuk ambil bola-bola dan moderator membuka amplop lebih lama daripada waktu kandidat memaparkan gagasan,” kata Hurriyah, melalui aplikasi perpesanan, pada Selasa, 9 Januari 2024.

Tak hanya panelis, kata Hurriyah, waktu yang dihabiskan moderator menenangkan para suporter juga jauh lebih lama daripada waktu kandidat menanggapi pertanyaan. “Ini serius Komisi Pemilihan Umum enggak punya niat mengevaluasi dan merombak format debat capres-cawapres?” ujar dia.

Pengajar di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI ini mengatakan, format debat capres-cawapres yang dibuat KPU saat ini sangat tidak ideal. Hanya pengembangan sedikit dari pola lama yang pernah dipakai Pemilu 2004. “Ketika debat pertama kali diterapkan kan masih ada pro-kontra, dianggap bukan budaya Indonesia, penolakan kandidat, dan lainnya,” tutur dia.

Saat ini, dia berujar, publik semakin terbiasa dengan debat dan adu gagasan. Menurut dia format debat yang diusung KPU semestinya bisa memfasilitasi kebutuhan publik untuk mendapatkan gambaran mengenai gagasan, visi misi program.

Selain itu kemampuan capres-cawapres mengkomunikasikan gagasan, serta meyakinkan publik mengenai gagasannya. “Ruang adu gagasan antarkandidat itu harus dibuka, sehingga publik bisa melihat dan menilai para calon,” ujar Hurriyah. “Tujuan debat publik seharusnya demikian.”

Adapun debat ketiga Pilpres 2024 digelar di Istora, Senayan, Jakarta Pusat, pada Ahad, 7 Januari 2024. Adu gagasan ini melibatkan Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. Pasangan mereka adalah Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud Md.

Menurut Hurriyah, debat yang dilakukan saat ini masih menekankan pada formalitas dan seremoni. Kurang substantif dan efektif dalam beberapa hal. Pertama, mereduksi peran panelis saat debat. “Seharusnya pertanyaan disampaikan langsung oleh panelis,” tutur dia.

Kedua, pengaturan waktu sangat kaku. Tidak memberi ruang untuk eksplorasi gagasan. Ketiga, keberadaan tim sukses dan suporter yang justru mengganggu jalannya debat. “Yang harus diundang itu para akademisi, tokoh masyarakat, aktivis atau arganisasi pegiat isu-isu yang dijadikan tema debat,” katanya.

Keempat, tema debat capres maupun debat cawapres terlalu luas dan banyak. Dia juga mempertanyakan keseriusan KPU dalam menggelar debat. Apakah KPU serius menjadikan debat sebagai sarana kampanye edukatif dan substantif buat pemilih? “Atau cuma sekadar menjadikan debat sebagai bagian dari seremoni pesta demokrasi?” ucap dia.