Saya seorang prajurit. Saya bisa memimpin operasi tempur. Kita harus selalu siap bertempur. Tetapi saya berkeyakinan, jalan terbaik adalah yang tanpa kekerasan. Jalan terbaik penyelesaian konflik adalah menghindari perang. Saya selalu berpendapat bahwa lawan itu adalah pendekar juga. Lawan itu harus kita hormati. Kita boleh berseberangan, tapi kita harus selalu berkomunikasi. Kita harus mencari jalan keluar dari setiap pertikaian. Saudara-saudara sekalian, pelajaran nenek moyang kita mengajarkan ‘menang tanpo ngasorake’. Kemenangan yang terbaik adalah kemenangan tanpa menimbulkan sakit hati, kebencian, atau rasa dendam. Bagaimana cara mencapai itu? Ada lagi ajaran nenek moyang kita, iso rumongso, ojo rumongso iso. Jangan merasa kau bisa semua, tapi kau harus bisa merasakan pihak orang lain, merasakan kesulitan mereka, merasakan penderitaan mereka seperti kamu bisa merasakan penderitaan anak buahmu dan kesulitan anak buahmu. Saya sampai sekarang tidak pernah lupa pernah dengan komandan sektor saya di Timor Timur yaitu Letkol Sahala Rajagukguk. Waktu itu beliau komandan sektor tengah. Pada saat saya pertama bertemu setelah ditempatkan di bawah komando beliau, beliau memberi saya sasaran. “Prabowo kamu harus sampai koordinat ini.” Saya pelajari peta di depan dia, dan dia bertanya, “Berapa lama kau untuk sampai koordinat ini?” Saya bilang, “Besok pagi saya bisa sampai.” Saya kaget waktu beliau katakan, “Prabowo, jangan paksakan anak buahmu. Saya kasih kamu dua malam. Lusa pagi kamu sampai.” Hati saya merasa seperti di beri kesejukan yang luar biasa. Komandan ini kok merasakan capeknya kami. Merasakan beban ranselnya kami. Merasakan betapa beratnya naik dan turun gunung. 1 KM di lapangan di daerah operasi seperti Timor Timur tidak seperti 1 KM di daerah Magelang. Akhirnya saya jawab, “Siap!” Saya tidak bisa lupa, itulah komandan yang punya empati terhadap anak buah, komandan yang bisa merasakan.
Dalam karier saya, saya laksanakan operasi pertama saya sebagai Letnan Dua waktu itu di Timor Timur. Saya masuk dalam Nanggala 10 yang dipimpin Mayor Inf. Yunus Yosfiah. Tugas pertama saya adalah sebagai perwira intelijen. Kebetulan, saya memang punya minat tentang perang sejak kecil. Saya baca tentang perang, saya belajar tentang perang di SMA dan di Akademi militer. Saya baca tentang perang di Malaya menghadapi pemberontak komunis. Saya pelajari perang Vietnam, saya pelajari perang gerilya Spanyol melawan Napoleon. Kemudian saya belajar teknik-teknik perang gerilya dan anti gerilya. Saya dengar cerita komandan-komandan kita, panglima-panglima kita ikut perang melawan Belanda dan melawan Inggris. Sehingga dari awal sebagai Letnan Dua, saya memiliki sesuatu pandangan-pandangan tentang perang gerilya dan anti-gerilya yang akhirnya saya coba terapkan.
Juga saya pernah cerita pada buku Kepemimpinan Militer yang pertama, bagaimana saya jumpa dengan seorang kapten bernama Hendropriyono. Beliau banyak membimbing saya, mengajarkan saya dalam teknik-teknik perang gerilya, teknik-teknik intelijen, teknik-teknik kontra intelijen, dan operasi clandestine. Dari hasil belajar saya sendiri, dari studi kasus yang saya baca, bagaimana di Malaya, bagaimana di Vietnam, bagaimana di Spanyol, di Aljazair, dan di Indonesia sendiri, ditambah ilmu-ilmu yang saya dapat dari senior-senior seperti Pak Hendropriyono, akhirnya saya uji coba teknik-teknik itu waktu saya menjadi perwira intelijen pak Yunus. Kemudian saat saya menjadi Wakil Komandan Unit C di Tim Nanggala 10, dan karena beberapa perwira ada yang gugur dan luka saya diangkat menjadi Komandan unit, dan saya beroperasi, banyak pengalaman-pengalaman yang didapatkan, pengalaman dari kesalahan-kesalahan saya, tapi itulah modal saya untuk belajar perang tidak hanya dari buku tapi juga dari praktik di lapangan.
Dari pengalaman-pengalaman saya, saya berpendapat bahwa tawanan kalau kita tangkap tidak boleh kita sakiti. Tawanan tidak boleh kita siksa, karena dari kesaksian tawanan itu kita bisa dapat keterangan yang bermanfaat untuk operasi kita. Saya juga berkesimpulan bahwa dukungan rakyat adalah sangat vital. Benar pelajaran Mao, pelajaran Nasution, bahwa “prajurit adalah ikan, rakyat adalah air laut.” Tanpa rakyat, prajurit mati. Karena itu, kita harus rebut hati rakyat. Setiap pasukan yang tidak mengerti ini akan gagal dalam perang gerilya dan perang anti gerilya.
Dalam upaya pihak-pihak asing untuk menjelek-jelekkan TNI, sering disebutkan fitnah bahwa TNI melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM yang sangat besar di Timor Timur. Fitnah-fitnah itu tidaklah benar. Bahwa ada pelanggaran di sana-sini, tetapi tidak ada pelanggaran yang direncanakan atau diperintah oleh satuan atas. Tidak mungkin operasi perang gerilya dan perang anti-gerilya akan berhasil tanpa dukungan rakyat. Dan harus di akui, di Timor Timur, setelah sekian puluh tahun sebetulnya Fretilin itu kalah perang dengan kita. Namun akhirnya mereka dimenangkan oleh manuver politik yang didukung oleh negara-negara besar.
Pengalaman-pengalaman saya membuat saya memiliki pendekatan dan teknik-teknik perang yang saya yakini. Pertama, TNI harus merebut hati rakyat. Kalau tidak bisa merebut hati rakyat, minimal jangan sakiti hati rakyat. Sama sekali tidak boleh sakiti hati rakyat. Dan TNI sadar itu, karena TNI punya pengalaman mengatasi RMS, DI/TII, Permesta, dan seterusnya. Akhirnya kita memiliki delapan wajib ABRI, yang akhirnya menjadi delapan wajib TNI, yang berbunyi: Bersikap ramah-tamah terhadap rakyat. Bersikap sopan santun terhadap rakyat. Menjunjung tinggi kehormatan wanita. Menjaga kehormatan diri di muka umum. Senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaannya. Tidak sekali-kali merugikan rakyat. Tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat. Menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya. Dan TNI dari awal selalu mengatakan bahwa adalah tentara rakyat, tentara nasional, dan tentara pejuang. TNI juga menganut sistem peperangan HANKAMRATA, pertahanan rakyat semesta yang dulu tahun 50-an disebut oleh senior-senior kita sebagai PERATA, perang rakyat semesta.
Kemudian, daripada itu, saya selalu berpendapat bahwa lawan itu adalah pendekar juga. Lawan itu harus kita hormati. Saya belajar ini dari kisah-kisah yang saya dengar, kisah-kisah dari Mahabarata, kisah-kisah Kresna dan Arjuna, kisah-kisah Pandawa, bahwa Pandawa dan Kurawa sebenarnya adalah saudara, dan di Kurawa ada yang bersifat pendekar, yang bersifat pahlawan. Saya juga belajar hal ini dari sejarah. Dalam sejarahnya Salahudin al Ayyubi, yang begitu dihormati oleh negara-negara Barat termasuk di kerajaan-kerajaan Kristen Barat, kisah yang diceritakan turun temurun bahwa Salahudin al Ayyubi pernah dari suatu bukit melihat Raja Richard dari Inggris yang dikenal dengan nama Richard the Lionheart terjatuh dari kudanya dan hendak dikepung oleh 50 tentara Salahudin. Salahudin mengirimkan kurir untuk memerintahkan 50 prajuritnya untuk tidak membunuh Richard the Lionheart. Bahkan ia perintahkan untuk mundur. Ia juga mengirim adiknya sendiri membawa kuda, dan kuda itu diserahkan ke Richard the Lionheart karena Salahudin al Ayyubi berpendapat tidak pantas seorang raja, seorang panglima perang, walaupun lawan, tidak pantas dia mati tidak di atas kuda.
Inilah yang menjiwai hidup saya sebagai anak muda, cerita-cerita tentang pahlawan-pahlawan di mana-mana, bahkan Zorro dari Meksiko, Pancho Villa, Emiliano Zapata, sehingga dalam visuallisasi saya, kalau saya beroperasi dalam sebuah perang saya harus berperan sebagai seorang ksatria, sebagai seorang Pandawa. Semua musuh yang saya tawan, saya perlakukan dengan baik.
Saya pernah pada suatu peristiwa di daerah di sebelah barat dari sungai Viqueque, barat dari Kraras, kita beroperasi di daerah pegunungan Bibileo. Dalam operasi tersebut komandan Peleton saya yang paling hebat, yang paling saya sayang yaitu Letnan Dua Siprianus Gebo, orang dari Ende, angkatan 1985, dengan gagah berani menginvasi garis musuh, merayap di depan, menyerang dan menimbulkan banyak korban namun akhirnya tertembak dan gugur. Pasukan saya mengejar kelompok gerilya musuh yang menembak Siprianus Gebo, dan setelah tiga hari berhasil menangkap komandannya. Komandannya ditangkap dalam keadaan luka. Pasukan saya berhasil menjejakinya karena banyak darah. Kemudian ia diangkat ke pos komando saya, di atas bukit. Digotong. Saya perintahkan jangan dibunuh, dibawa ke saya. Waktu itu dia terletak di bawah saya. Dalam keadaan luka-luka, berdarah, tapi masih hidup. Saya ajak bicara. Waktu itu saya masih bisa bahasa Tetun sederhana. Saya tanya dalam bahasa Tetun, “Hakarak mate, ka hakarak moris?” Artinya, “Kamu mau hidup, atau kamu mau mati?” Saat itu, tentunya saya masih merasa pedih kehilangan seorang Komandan Peleton saya yang paling saya sayangi, seorang jago tembak, seorang juara maraton, seorang dari Flores yang selalu senyum dan tidak pernah susah. Itulah Siprianus Gebo. Saya tanya lagi, “Hakarak mate, ka hakarak moris?” Di luar dugaan saya, dia jawab, “Mate bele, moris mos bele”. Mati boleh, hidup juga boleh. Dia tidak mengemis untuk hidup. Dia tidak merengek minta ampun. Dalam hati saya, walaupun dia setengah telanjang dan penuh luka, rambutnya panjang karena sudah bergerilya berbulan-bulan, badannya bau bukan main, namun pada saat itu ada suara dalam hati saya yang mengatakan, “Kau ini Pendekar. Kau ini prajurit. Kau ini Patriot bagi perjuanganmu.” Suara itu mengatakan di hati saya, “Ini lawan yang tangguh. Ini orang harus saya hormati.” Langsung saya perintahkan ke pasukan saya, “Panggil helikopter, saya minta orang ini dikirim ke rumah sakit, diobati, diselamatkan. Dia seorang lawan yang tangguh.” Akhirnya ia dibawa memakai helikopter, dikirim ke Dili, dan diserahkan…