Kritik keras diberikan terhadap wacana penerapan royalti 2 persen pada acara pernikahan. Kebijakan itu dinilai keliru besar dan berpotensi merugikan masyarakat sekaligus menghambat pertumbuhan industri event management di Indonesia. Menurut Ketua Umum Backstagers Indonesia Event Management Association, Andro Rohmana, pernikahan bukan konser musik komersial, sehingga penerapan royalti pada acara personal seperti pernikahan dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Hal ini menjadi perhatian serius mengingat prediksi nilai industri event global yang mencapai USD 1,76 triliun pada tahun 2029.
Andro menegaskan bahwa pernikahan berbeda dengan konser musik komersial, dan kesamaan Perlakuan dalam penerapan royalti dinilai sebagai kesalahan fundamental. Regulasi yang ada juga tidak secara khusus mencakup acara privat seperti pernikahan. Menyasar masalah ini, Backstagers Indonesia menyoroti klaim Wahana Musik Indonesia (WAMI) tentang biaya royalti sebesar 2% dari biaya produksi musik yang dikenakan pada pemutaran musik di acara pernikahan sebagai keliru dan berpotensi merugikan masyarakat.
Andro juga memberikan contoh praktik di luar negeri di negara seperti Australia dan Inggris yang pernikahan pribadi tidak dikenakan lisensi musik publik. Di Jepang, pernikahan diatur terpisah dari konser publik. Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, Andro merekomendasikan alternatif pendekatan dalam hal pemungutan royalti untuk acara pernikahan, seperti membebankan lisensi pada venue atau menyertakan dalam kontrak promotor. Menurutnya, kebijakan pemungutan royalti harus proporsional, berbasis regulasi, dan memperhatikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, agar tidak merugikan pertumbuhan industri kreatif itu sendiri.