Pentingnya Reformasi Intelijen Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Siber

by -97 Views

Perkembangan Reformasi Intelijen di Indonesia

Reformasi intelijen Indonesia terus menjadi perbincangan hangat, terutama seputar tata kelola dan mekanisme pengawasannya. Dua aspek utama yang menjadi fokus dalam reformasi ini adalah manajemen sumber daya manusia dan sistem pengawasan yang efektif.

Dalam sebuah diskusi di Universitas Bakrie, Jakarta, Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie, Aditya Batara Gunawan, menyoroti pentingnya perluasan pengawasan terhadap barang intelijen, terutama Badan Intelijen Negara (BIN). Menurutnya, pengawasan yang sekarang di bawah Komisi I DPR RI melalui Timwas Intelijen belum mencukupi.

“Perlu ada pemikiran terkait model pengawasan intelijen yang lebih independen dan akuntabel,” ujar Aditya dalam diskusi berjudul Dinamika Reformasi dan Tata Kelola Intelijen pada Kamis (20/3/2025).

Keberadaan Reformasi Intelijen Indonesia

Seiring dengan Aditya, Direktur Eksekutif LESPERSSI, Rizal Darma Putra, menekankan bahwa pengawasan terhadap lembaga intelijen harus tetap mengutamakan prinsip akuntabilitas walaupun tidak selalu transparan. Menurutnya, reformasi intelijen Indonesia tidak akan mencapai hasil yang maksimal tanpa kontrol yang jelas.

“Walaupun transparansi intelijen memiliki batasan, prinsip akuntabilitas tetap harus dikedepankan guna kontrol demokratis,” tegas Rizal.

Ia juga menambahkan bahwa tim pengawas intelijen sebaiknya memiliki kewenangan penyidikan untuk menjamin tidak ada penyimpangan dalam operasionalnya.

Pentingnya Adaptasi dan Perkembangan Kelembagaan BIN

Dalam diskusi yang sama, Mayjen TNI (Purn) Rodon Pedrason, yang pernah menjabat sebagai Gubernur Sekolah Tinggi Intelijen Negara (2017-2020), menyampaikan bahwa BIN kini telah berkembang pesat. Ia mencatat adanya perluasan divisi-divisi baru seperti siber serta komunikasi dan informasi sebagai upaya menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis.

Saat ini, BIN memiliki total 9 divisi yang bertanggung jawab atas berbagai aspek intelijen. Meskipun begitu, terdapat kekhawatiran bahwa budaya kerja intelijen semakin terbuka, yang bertentangan dengan prinsip kerahasiaan (incognito). Hal ini menjadi sorotan tersendiri bagi jurnalis Andhika, yang menilai keterbukaan ini harus diimbangi dengan kehati-hatian dalam berbagi informasi yang bersifat sensitif.

“Intelijen harus menjaga kerahasiaan operasionalnya, bukan semakin terbuka seperti saat ini,” papar Andhika.

Disamping itu, ia juga menyoroti minimnya keterlibatan masyarakat sipil dalam struktur BIN, yang seharusnya dapat memperkaya sudut pandang intelijen dalam menghadapi ancaman keamanan nasional.

Pentingnya Adaptasi dan Perkembangan Kelembagaan BIN

Dalam diskusi yang sama, Mayjen TNI (Purn) Rodon Pedrason, yang pernah menjabat sebagai Gubernur Sekolah Tinggi Intelijen Negara (2017-2020), menyampaikan bahwa BIN saat ini telah berkembang signifikan. Ia mencatat adanya penambahan kedeputian baru seperti siber serta komunikasi dan informasi sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan lingkungan strategis.

Saat ini, BIN memiliki total 9 kedeputian yang bertugas menangani berbagai aspek intelijen. Namun, ada kekhawatiran bahwa budaya kerja intelijen semakin terbuka, bertentangan dengan prinsip dasar kerahasiaan (incognito). Hal ini disoroti oleh jurnalis Andhika, yang menilai bahwa keterbukaan ini perlu dibarengi dengan kehati-hatian dalam berbagi informasi sensitif.

“Intelijen seharusnya tetap menjaga kerahasiaan operasionalnya, bukan semakin terbuka seperti yang terjadi saat ini,” ungkap Andhika.

Selain itu, ia juga menyoroti minimnya keterlibatan masyarakat sipil dalam struktur BIN, yang seharusnya dapat memperkaya perspektif intelijen dalam menghadapi tantangan keamanan nasional.

Ancaman Siber dan Ketergantungan Teknologi Asing

Dalam era digital, ancaman siber semakin menjadi perhatian utama dalam reformasi intelijen Indonesia. Analis Utama Maha Data Lab 45, Diyauddin, menyoroti ketergantungan Indonesia terhadap teknologi asing dalam sistem intelijen. Menurutnya, penggunaan teknologi yang bukan buatan sendiri meningkatkan risiko keamanan nasional.

“Jika kita terus menggunakan teknologi yang dikembangkan pihak luar, maka risiko kebocoran data dan infiltrasi akan semakin tinggi,” jelas Diyauddin.

Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Kantor Internasional FISIP UI, Yamora, yang menekankan perlunya langkah konkret dalam menghadapi ancaman siber seperti disinformasi dan manipulasi data. Menurutnya, upaya reformasi intelijen tidak hanya harus berfokus pada pengawasan kelembagaan, tetapi juga pada peningkatan kapasitas teknologi domestik.

“Ancaman siber tidak bisa dianggap remeh. Kita harus segera menindaklanjuti potensi ancaman seperti manipulasi data dan propaganda digital,” tandasnya.

Membangun Intelijen yang Transparan dan Adaptif

Diskusi yang dipandu oleh Kepala Laboratorium Ilmu Politik Universitas Bakrie, Yudha Kurniawan, menggarisbawahi bahwa reformasi intelijen Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah hambatan. Dari sisi pengawasan, diperlukan model yang lebih independen dan akuntabel demi menjaga agar intelijen tetap beroperasi dalam kerangka demokrasi.

Di sisi lain, perkembangan BIN dalam menghadapi tantangan siber dan teknologi menunjukkan bahwa reformasi kelembagaan telah berjalan, meskipun masih terdapat beberapa aspek yang perlu ditingkatkan. Melangkah ke depan, sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil perlu ditingkatkan untuk menciptakan sistem intelijen yang kuat, profesional, dan selalu berada dalam koridor demokrasi.

Sumber: Reformasi Intelijen Indonesia: Tantangan Tata Kelola Dan Urgensi Pengawasan Yang Lebih Transparan
Sumber: Dinamika Reformasi Dan Tata Kelola Intelijen: Perlunya Model Pengawasan Yang Memadai