Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai penghapusan presidential threshold pada Kamis, 2 Januari 2025, membuka peluang yang luas bagi calon-calon presiden pada pemilihan presiden tahun 2029. Dosen Ilmu Politik dari Universitas Indonesia, Aditya Perdana, menyambut baik keputusan tersebut yang memungkinkan potensi calon presiden semakin banyak tanpa adanya batasan yang mengikat. Putusan ini berasal dari gugatan yang diajukan oleh empat mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang kemudian dikabulkan oleh MK.
Namun, keputusan ini menuai pro dan kontra, terutama di antara Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Daniel Yusmic yang berpendapat berbeda. Mereka berargumen bahwa gugatan semacam ini seharusnya diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang terkait langsung dengan pemilihan presiden. Selain itu, hal itu seharusnya pembangkangan, sehingga permohonan tidak bisa diterima. Meskipun demikian, Hakim Saldi Isra menyatakan bahwa presidential threshold bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.
Aditya Perdana, selaku Dosen Ilmu Politik UI dan Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting, mengungkapkan bahwa keputusan MK menghapus presidential threshold akan berdampak pada dinamika koalisi pemerintahan yang dominan. Hal ini juga dapat mempengaruhi pembentukan kabinet di masa mendatang. Dia menyarankan agar putusan tersebut diperkuat melalui revisi Undang-Undang Pemilu untuk memberikan landasan hukum yang kuat. Proses ini diharapkan dapat memperkuat aspek legal dari keputusan tersebut.