LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

by -81 Views
LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dapat menggebrak dan membangkitkan semangat orang, namun Gubernur Suryo juga adalah seorang juru bicara yang berbakat. Pidatonya menandai dimulainya perang sejarah untuk Surabaya.

Bayangkan ini. Gubernur Suryo bukanlah seorang prajurit. Ia bukan personel militer. Namun ia memahami bahwa ia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Ia memahami peran kepemimpinan: Seorang pemimpin harus sopan, harus membela kehormatan bangsa. Ia mewakili rakyatnya. Ia telah menunjukkan contoh besar kepada generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela tanah airnya.

Gubernur Suryo adalah bagian integral dari peristiwa pada tanggal 10 November 1945. Ia berada di balik keputusan untuk memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa sejarah yang paling penting yang pernah dilakukan oleh rakyat Indonesia. Ini adalah pertempuran besar antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari pemuda dan siswa madrasah Surabaya, melawan Tentara Inggris. Ini adalah peristiwa heroik dalam pertempuran untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah susah payah diraih.

Pertempuran masif melawan pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, menewaskan lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsikan 200.000 warga sipil. Pertempuran masif dan ganas ini dirayakan setiap tanggal 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dimulai dari kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada tanggal 30 Oktober 1945. Ini merupakan puncak dari pertempuran hampir seminggu yang dilakukan oleh Brigade yang dipimpin oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby melakukan kesalahan besar dengan membagi brigadenya menjadi unit tingkat peleton yang menduduki banyak pos terpencar di Surabaya. Saat itu, unit-unit bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah merebut ribuan senjata dari Jepang. Ada yang merupakan pasukan resmi. Ada yang merupakan relawan. Ada juga kelompok bersenjata. Oleh karena itu, peleton-peleton ini tidak dapat saling membela karena terlalu tersebar di kota sebesar Surabaya. Brigade tersebut dilenyapkan sebagai kekuatan terorganisir. Tindakan ini berujung pada pembunuhan Mallaby. Tentu saja, hal ini menghina Inggris. Mereka marah. Mereka menuntut agar para pembunuh ditangkap, dan unit-unit Indonesia didisarmir.

Inggris marah atas kematian jenderal mereka, menuntut agar pelakunya ditangkap.

Serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Tentara Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir dengan kebuntuan.

Akhirnya, setelah shalat Jumat pada tanggal 9 November 1949, Tentara Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menjatuhkan selebaran dari udara untuk semua penduduk Surabaya membacanya. Ultimatum menuntut agar semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan agar semua orang Indonesia yang tidak berwenang membawa senjata menyerahkan senjata mereka. Semua perempuan dan anak Indonesia diperintahkan untuk meninggalkan kota menuju Mojokerto dan Sidoarjo.

Batas waktu yang diberikan untuk ultimatum tersebut adalah pukul 18.00. Jika perintah tidak dipatuhi, Tentara Inggris bersumpah untuk menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum ini menciptakan kepanikan di kalangan warga Surabaya. Namun kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap untuk perang.

Gubernur Suryo meminta warga Surabaya tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian menyerahkan sepenuhnya keputusan bagaimana merespons kepada rakyat Surabaya.

Pada saat yang kritis itu, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, secara luas, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia adalah bangsa besar yang dapat bertahan dari serangan militer besar oleh pasukan asing. Negara ksatria ini tidak takut kepada siapa pun, termasuk kekuatan super seperti Inggris, untuk mempertahankan kedaulatannya. Atau sebaliknya, jika ia memutuskan untuk menerima ultimatum tersebut, Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang ditaklukkan, sebuah bangsa yang terhina, sebuah bangsa yang merunduk di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh pasukan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini adalah milik Gubernur Suryo sendiri untuk membuatnya.

Sejenak sebelum batas waktu yang ditetapkan oleh Inggris berakhir, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan bersejarah kepada rakyat Surabaya melalui radio. Beda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak penuh semangat. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang cukup kuat untuk memobilisasi semua yang mendengarkannya untuk mengangkat senjata membela Surabaya.

Meskipun Bung Tomo diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dikenal karena orasinya yang membangkitkan, Gubernur Suryo dengan nada yang tenang namun tegas sama kuatnya. Pidato Gubernur Suryo menjadi ‘teriakan perang’ pertama yang menandai dimulainya pertempuran sejarah. Hanya dapat dibayangkan emosinya saat ia berbicara kepada rakyat Surabaya.

Lebih sulit lagi untuk memahaminya, mengingat Gubernur Suryo bukanlah seorang prajurit. Namun, ia sepenuhnya menyadari perannya sebagai seorang pemimpin: Seorang pemimpin harus berani untuk mengambil keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela kehormatan tanah airnya. Ia mewakili rakyatnya. Ia adalah harapan rakyatnya. Demikianlah kualitas kepemimpinan besar yang telah ia tunjukkan kepada generasi muda.

KAMI LEBIH MEMILIH HANCUR DARIPADA DIJAJAH LAGI!

Saudara-saudara,

Pemimpin kita di Jakarta telah berupaya sebaik mungkin untuk mengelola perkembangan di Surabaya. Namun sayangnya, semuanya sia-sia. Kini terserah kita, rakyat Surabaya, untuk memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Semua upaya negosiasi kita telah gagal. Untuk membela kedaulatan bangsa, kita harus mempertahankan dan mengukuhkan tekad kita untuk menghadapi semua kemungkinan.

Berulang kali kita menyatakan posisi kita: Kami lebih memilih hancur daripada direkolonisasi. Sekarang, menghadapi ultimatum Inggris, kita akan tetap mempertahankan sikap tersebut. Kita akan tetap kokoh menolak ultimatum tersebut.

Dalam menghadapi setiap kemungkinan besok, mari kita semua jaga kesatuan antara pemerintah, rakyat, angkatan bersenjata (TKR), polisi, pemuda, dan organisasi perlawanan rakyat. Marilah kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan serta Berkat dan Petunjuk-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link