Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]
Dalam ratusan tahun sejarahnya, Indonesia memiliki pemimpin-pemimpin tangguh, pembela rakyat, dan pejuang keadilan yang dengan berani menentang kolonisasi dan dominasi oleh bangsa lain. Dari Indonesia Timur, sejarah mencatat perjuangan Sultan Hasanuddin. Selama masa pemerintahannya, Sultan Hasanuddin berhasil menghalangi rencana Belanda untuk menguasai Kesultanan Gowa. Sultan Hasanuddin menyatukan kerajaan-kerajaan kecil melawan penjajah kolonial.
Terkadang, seiring berjalannya waktu, kita cenderung melupakan kisah-kisah para pendahulu kita. Terkadang kita lupa sejarah kita dan mempertanyakan identitas kita sendiri.
Dari Indonesia Timur, sejarah mencatat perjuangan Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin lahir di Makassar pada tahun 1631. Dia adalah putra kedua dari Sultan Malikussaid. Dia juga dijuluki De Haantjes van Het Osten oleh Belanda karena keberaniannya, yang berarti Ayam Jago dari Timur.
Sejak kecil, sudah terlihat bahwa dia memiliki jiwa seorang pemimpin. Selain pintar, dia juga pandai berdagang. Oleh karena itu, dia memiliki jaringan perdagangan yang luas. Dia juga sering diundang oleh ayahnya untuk menghadiri pertemuan-pertemuan penting dengan harapan melatihnya dalam pengetahuan dan seni diplomasi serta perang. Ayahnya beberapa kali mempercayakan kepadanya untuk menjadi duta besar yang mengirim pesan ke berbagai kerajaan.
Ketika baru berusia 21 tahun, Hasanuddin diangkat sebagai Menteri Pertahanan Gowa. Setelah menjadi Raja, Sultan Hasanuddin menciptakan beberapa masalah bagi Belanda. Keteguhan hati Sultan Hasanuddin dapat dilihat dalam penolakannya yang teguh terhadap monopoli perdagangan VOC.
Selama pemerintahannya, Sultan Hasanuddin berhasil menghalangi rencana Belanda untuk menguasai Kesultanan Gowa. Sultan Hasanuddin menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Gowa melawan kekuatan kolonial. Hal ini mengganggu rencana Belanda untuk memonopoli perdagangan di Indonesia Timur. Sultan Hasanuddin mengingat dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip leluhurnya bahwa dia harus menggunakan sumber daya dan laut untuk memastikan kemakmuran rakyat.
Selama pemerintahannya, Kesultanan Gowa memiliki peran penting dalam kegiatan perdagangan di seluruh Nusantara, terutama Nusantara timur. Ekonomi Gowa saat itu bergantung pada perdagangan maritim. Kesultanan tersebut menjadi pusat perdagangan Nusantara dan komunitas internasional seperti Portugis, Inggris, dan Denmark.
Melihat kemajuan tersebut, Belanda tertarik untuk merebut kendali atas Kesultanan itu. Hal ini akhirnya mengakibatkan perselisihan antara Sultan Hasanuddin dan pasukan Belanda.
Perselisihan ini kemudian berujung pada perang di sekitar Sulawesi Selatan. Pada tahun 1667, perang berakhir dengan perjanjian Bongaya. Namun, perjanjian ini menghasilkan beberapa keputusan yang merugikan Sultan Hasanuddin dan rakyatnya.
Perjanjian tersebut memungkinkan VOC untuk memaksa Gowa-Tallo menerima hak monopoli dalam perdagangan di Nusantara Timur. Semua negara barat harus meninggalkan Gowa kecuali Belanda, dan Gowa wajib membayar ganti rugi perang.
Sultan Hasanuddin melawan kembali dalam tahun-tahun berikutnya, namun tidak ada hasil yang memuaskan yang dicapai, dan VOC terus mendominasi Makassar. Diklaim bahwa alasan utama keruntuhan Gowa-Tallo adalah perjanjian itu, terutama setelah Sultan Hasanuddin meninggal pada tahun 1670.