Koordinator Tenaga Ahli Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Divisi Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi, Bachtiar Baetal, mengatakan pihaknya sedang memperkuat sosialisasi mengenai sanksi bagi pelaku politik uang, khususnya menjelang pemilu dan Pilkada 2024.
“Pelanggaran politik uang dalam pemilu dan Pilkada memiliki perbedaan signifikan dalam hal subjek yang dapat dituntut hukum,” kata Bachtiar saat berkunjung ke Pontianak pada Rabu, 7 Agustus 2024.
Dia menjelaskan bahwa dalam pemilu, hukum hanya bisa menuntut pemberi uang, sedangkan dalam Pilkada, baik pemberi maupun penerima uang bisa dikenai sanksi.
“Siapapun yang menjanjikan atau memberikan uang akan dijerat. Begitu pula dengan siapapun yang menerima uang dalam politik uang,” ujarnya.
Bawaslu juga mencoba memperluas cakupan hukum dengan membedakan subjek hukum yang bisa dituntut antara pemilu dan Pilkada. Pada pemilu, subjek hukum terbatas pada tim pelaksana dan tim kampanye, sementara pada Pilkada, subjek hukum mencakup pasangan calon, anggota partai politik, relawan, dan tim kampanye.
“Tim kampanye dan relawan yang terdaftar di KPU bisa dituntut. Sedangkan yang tidak terdaftar akan ditindak sebagai pihak lainnya,” katanya.
Bawaslu mengingatkan masyarakat untuk tidak terlibat dalam praktik politik uang, baik sebagai pemberi maupun penerima. Meski demikian, Bachtiar mengakui bahwa politik uang masih sering terjadi, baik dalam Pilkada maupun pemilu.
Pada tahun 2020 saja, terdapat sekitar 30 putusan hukum tetap terkait dengan pelanggaran politik uang dalam konteks pemilu.
“Kami terus mengingatkan seluruh warga negara agar tidak menerima uang dalam konteks politik, baik pemilu maupun Pilkada, karena konsekuensinya akan berat,” ungkap Bachtiar.
Melalui sosialisasi ini, Bawaslu berharap masyarakat akan lebih menyadari risiko dan sanksi hukum yang bisa menimpa jika terlibat dalam politik uang, serta mengurangi praktik-praktik tidak sehat yang bisa merusak integritas pemilu dan Pilkada di Indonesia.