Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]
Usia saya waktu itu baru 17 tahun. Saya baru saja pulang dari luar negeri. Pak Kemal Idris sudah sangat terkenal sebagai tokoh TNI. Pada saat itu ia dikenal sebagai salah satu tokoh TNI Angkatan Darat yang merupakan salah satu tokoh kunci Orde Baru di awal mulainya Orde Baru. Beliau bersama Letnan Jenderal TNI HR Dharsono dan Surono
(pada saat itu Mayor Jenderal TNI Surono yang kemudian menjadi Jenderal TNI KASAD dan selanjutnya Wapangab) juga bersama Kolonel Infanteri (pada saat itu) Sarwo Edi Wibowo adalah tokoh-tokoh kunci yang mendukung Pak Harto di tahun- tahun setelah G30S/PKI sampai Pak Harto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia kedua pengganti Bung Karno.
Di kalangan keluarga saya, Pak Kemal Idris sering disebut- sebut. Saya sering dengar cerita-cerita tentang Pak Kemal Idris. Pak Kemal Idris adalah sahabat dekat paman saya Subianto Djojohadikusumo yang gugur dalam peristiwa Lengkong bersama Mayor Daan Mogot dan para Taruna dari Akademi Militer Tangerang pada tanggal 25 Januari 1946.
Pak Kemal Idris juga adalah sahabat dari Pak Subianto, yang juga gugur dalam peristiwa Lengkong. Waktu saya bertemu Pak Kemal Idris, ia bicara, “Saya ini sahabat pamanmu. Pamanmu orang yang sangat berani. Jika pamanmu masih hidup, saya yakin dia yang jadi Pangkostrad. Kamu harus ikut jejak pamanmu. Subianto itu dulu jagoan.”
Saya teringat kata-kata beliau. Setelah saya pelajari lebih dalam lagi tentang riwayat hidup Pak Kemal Idris, ternyata ia orang yang sangat patriotik, pemberani dan sangat lurus serta terbuka. Batalyon Kemal Idris adalah batalyon TNI pertama yang masuk ibu kota setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia. Waktu itu Pak Kemal Idris berpangkat Mayor, jadi sangat terkenal.
Pada saat itu tradisinya adalah batalyon- batalyon TNI diberi julukan nama komandannya. Jadi ada Batalyon Kemal Idris, Batalyon Ahmad Yani, Batalyon Poniman dan sebagainya.
Pada saat peristiwa 17 Oktober 1952, Batalyon Kemal Idris terlibat mengepung istana. Jiwa Pak Kemal Idris adalah jiwa pemberani, jiwa yang sangat pro rakyat dan jiwa yang sangat nasionalis. Ia sangat membenci korupsi dan ia bahkan dengan berani sering mengkritik atasan, sehingga senior-senior beliau sering menganggap beliau “anak bandel.”
Bahkan saya pernah dengar Pak Harto sebut nama Pak Kemal Idris sambil senyum-senyum sambil ketawa, “ya Kemal ya begitu, bandel.” Tapi senior-senior pun selalu memaafkan dan selalu lindungi karena Pak Kemal Idris orang yang sangat pemberani dan sangat berhasil memimpin pasukannya melawan Belanda.
Kemudian ia melawan pemberontak-pemberontak selama tahun 1950-an dan tahun 1965. Setelah tahun 1965 dan pemberontakannya G30S/PKI, ia pun dipercaya oleh Pak Harto menjadi wakilnya Pak Harto di Kostrad sebagai Kepala Staf Kostrad dan sesudah itu setelah Pak Harto dipromosikan menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat, Pak Kemal Idris pun yang mengganti Pak Harto menjadi Pangkostrad.
Sifat-sifat Pak Kemal Idris yang saya ingat dan saya kagumi yakni sikap terbuka, sikap humoris dan selalu jujur dan berpihak kepada rakyat kecil. Tapi kekurangannya Pak Kemal Idris ada juga, ia orang yang emosional dan sering mengambil keputusan dan kesimpulan terlalu cepat sebelum mengetahui situasi sebenarnya. Kadang-kadang sifat inilah yang sering membuat beliau masuk ke dalam masalah-masalah sesungguhnya yang tidak perlu terjadi pada beliau.
Tapi selama dalam perjalanan hidupnya, beliau sering menasihati saya. Setiap kali bertemu beliau, ia menceritakan pengalaman- pengalamannya dan membimbing saya. Saya banyak belajar ilmu-ilmu kepemimpinan dari beliau.
Pada saat beliau sakit keras, beberapa jam sebelum beliau meninggal, saya sempat diberi tahu dan saya sempat menjenguk beliau di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta. Beliau sempat berbisik kepada saya, “Prabowo, terus berjuang.” Kata- kata terakhir beliau kepada saya, “jaga Republik ini, terima kasih.” Saya kemudian hormat pada beliau dan seketika itu juga air mata saya keluar. Waktu itu saya juga sudah berhenti sebagai Pangkostrad. Saya bisa merasakan getaran jiwa beliau di saat beliau mengalami saat-saat terakhir hidupnya.