Ketua Badan Pengawasan Pemilihan Umum atau Bawaslu, Rahmat Bagja, mengatakan akan melakukan pengawasan terhadap akun media sosial peserta Pemilu maupun akun bodong yang ikut mengampanyekan figur tertentu tanpa didaftarkan ke KPU. Ia memastikan pengawasan serupa telah dilakukan sejak Pemilu 2019.
“Dari tahun 2019 pertanyaan ini kan ada. Kami melakukan pengawasan di akun-akun media sosial yang tidak didaftarkan,” ujar dia kepada Tempo, di pelataran kantornya, Jalan M.H. Thamrin, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 23 November 2023.
Ia juga mengimbau seluruh paslon untuk melaporkan seluruh akun medsos dalam Pemilu 2024. Pernyataan Rahmat perihal akun media sosial anonim, itu disampaikan saat menanggapi kekhawatiran Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati. Menurut dia, payung hukum dalam Peraturan KPU tentang media sosial belum rinci.
Pada Pasal 37 PKPU Nomor 15 Tahun 2023, hanya diatur khusus untuk 20 akun media sosial setiap pasangan calon harus terdaftar ke KPU. Namun banyak akun media sosial bodong yang ikut berkampanye kepada figur tertentu.
“Sementara ada banyak aturan main yang itu sulit diawasi, misalnya bagaimana saat memasuki masa tenang, ada akun fake news yang dengan sengaja membuat gaduh dan lainnya,” kata Neni dalam sambungan telepon, Rabu, 22 November 2023. Dia mengatakan pengawasan terhadap penggunaan akun bodong itu sangat penting.
“Hari ini kita menghadapi demokrasi di era post truth. Kondisi ini berbeda dengan di 2019,” tutur dia.
Neni menjelaskan, kini terhitung sekitar 52 persen pemilih itu anak muda, Generasi Z dan milenial, yang juga pengguna aktif media sosial. Sehingga para kandidat akan memanfaatkan media sosial menggalang dukungan.
“Maka ini akan menjadi kebutuhan dan sebuah keniscayaan, gitu,” ujarnya. Dia menyebut Bawaslu akan kesulitan melakukan pengawasan jika regulasi yang dipakai tidak rinci.
Dia mengatakan, salah satu ketersedian payung hukum yang membahas pokok persoalan secara rinci, seperti kampanye, menjadi parameter pesta demokrasi atau pemilu itu berkualitas dan berintegritas. Salah satunya ketersediaan payung hukum secara kuat. “Saya berharap ketersediaan payung hukum di tahapan kampanye harus betul-betul tersedia sejak awal,” kata dia.
Tak hanya payung hukum yang mengatur mode kampanye melalui media sosial. Namun perlu dibuatkan aturan yang mengatur soal relawan. Pada Pemilu 2019 tak ada aturan terperinci perihal kerja relawan. “Sementara relawan ini banyak berkampanye di lapangan, tapi tidak terdaftar di KPU,” ujar dia.
Pentingnya peraturan terhadap relawan ini agar Memastikan proses hukum bisa dijalankan secara baik dan adil. Terutama jika ada pelanggaran yang dilakukan relawan dalam pemilu tersebut. Sementara relawan tidak terdaftar di KPU sebagai tim atau pelaksana kampanye.
“Ketika ada penanganan dugaan pelanggaran dilakukan relawan subyek hukumnya sangat sulit,” ucap dia. Menurut dia, sejumlah aturan harus diatur detail. Sebab pendanaan kampanye sejak 28 November 2023-10 Februari 2024, harus transparan. Hal ini berkaitan dengan keterlibatan peran relawan yang belum diatur dalam UU.
Keterbukaan soal Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), serta Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). “Jika itu dilakukan oleh relawan, itu sangat sulit dikontrol,” ucap Neni.